Selasa, 28 September 2010, 14:51 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Panitia Kerja RUU Kepramukaan, Hakam Nadja, mengatakan, banyak kegiatan dalam Gerakan Pramuka yang baik sehingga bisa menjadi alat pembentukan karakter bangsa. "Ke depan, Gerakan Pramuka bisa menjadi alat untuk pembentukan karakter bangsa," kata Ketua Panja RUU Kepramukaan, Hakam Nadja, pada diskusi di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, dalam diskusi bertema "Gerakan Pramuka Mau Kemana?"
Namun, tambah Hakam, ada beberapa persoalan yang harus dikritisi yakni jangan sampai melanggar pasal 28 UUD soal kebebasan berserikat dan berkumpul. "Kemudian soal anggaran Pramuka dari APBN dan APBD," kata Hakam.
Persoalan lainnya, tambahnya, adalah pentingnya didorong peran serta masyarakat. "Ke depan Gerakan Pramuka tak harus formal, harus direvitalisasi dan modifikasi tampilannya. Misalnya pakaiannya yang modis dan sebagainya," kata Hakam.
Sementara anggota komisi X DPR Hery Akhmadi menjelaskan bahwa yang penting dalam gerakan Pramuka selain pengaturan atau UU tetapi juga adanya pengakuan baik dari pemerintah. Gerakan Pramuka ditetapkan berdasarkan Keppres 238 tahun 1961 yang diresmikan pada 14 agustus 1961.
Sebelumnya, Komisi X melakukan studi banding ke Afrika Selatan, Jepang dan Korea Selatan terkait dengan RUU Kepramukaan itu. Menurut Hakam Nadja, berbagai kegiatan dalam kepramukaan sangat baik dan positif jika dikembangkan untuk pembentukan karakter bangsa. "Ini harus dimulai sejak dini dengan targetnya untuk usia 7-10 tahun," kata Hakam.
Sampai saat ini tercatat jumlah anggotanya sebanyak 17 juta, dengan pembina sekitar dua juta orang. Jumlah gugus depan sekitar 270 ribu yang tersebar di 33 propinsi serta 464 kwartir Cabang dari 497 kabupaten/kota.
selanjutnya ...
Rabu, September 29, 2010
Pramuka Harus Bersih Dari Pengaruh Parpol
NASIONAL - SOSIAL
Selasa, 28 September 2010 , 19:19:00
oleh : Saiko Damai - dikutip dari milist Pramuka
JAKARTA - Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kepramukaan, Hakam Naja, menyatakan
bahwa Pramuka sudah perlu direvitalisasi. Pasalnya, di masa lalu keberadaan
Pramuka justru menjadi kepanjangan salah satu partai politik penguasa.
Dalam diskusi tentang RUU Pramuka di pressroom DPR, Selasa (28/9), Hakam Naja
menyatakan, UU Kepramukaan dirasa sudah sangat diperlukan untuk merevitalisasi
Pramuka. "Gerakan Pramuka itu diikuti oleh anak-anak usia 7 hingga 25 tahun di
bawah bimbingan orang dewasa. Kalau legalitasnya tidak didasari oleh
undang-undang, maka gerakan Pramuka dengan mudah bisa dikooptasi oleh aktifitas
politik praktis dan ini pernah terjadi pada masa Orde Baru," tegas Hakam Naja.
Hadir pula dalam diskusi itu Ketua Kwatir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka,
Azrul Azwar, Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi dan anggota Panja dari Fraksi
PKB, Hanif Dakhiri.
Hakam menyebutkan, saat ini nterdapat 46 daftar inventaris masalah (DIM) yang
terbagi dalam tiga tema yakni soal Prmauka sebagai organisasi tertinggi
kepanduan di Indonesia, anggaran, dan peran serta masyarakat dalam gerakan
Pramuka. "Terhadap oragnisasi tertinggi wadah Pramuka yang saat ini dipangku
oleh Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, DPR tengah berupaya untuk melakukan uji
publik terhadap berbagai gerakan aktif pramuka seperti Pramuka Sekolah Islam
Terpadu, Pramuka Sekolah Katholik, Pramuka Pondok Pesantren," ujarnya.
Soal anggaran, kata Hakam, sama halnya dengan gerakan Pramuka di banyak negara
maka APBN tidak harus menyediakan anggaran secara khusus untuk Pramuka. "APBN
hanya akan berperan sebagai pendorong kegiatan. Kebutuhan internal organisasi
terhadap biaya, sepenuhnya kita dorong untuk menjadi tanggung jawab kwartir
nasional," tandas politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Sementara soal basis Pramuka yang selama ini lebih mengandalkan sekolah, RUU
Gerakan Pramuka justru membuka koridor yang lebih luas, yakni Pramuka juga dapat
berbasiskan masyarakat. "Jadi Gugus Depan Pramuka yang selama ini berada di
sekolah-sekolah, harus dikembangkan secara lebih luas dan kreatif di
tengah-tengah kehidupan masyarakat," tegas Hakam.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi menambahkan, perspektif
perluasan basis Pramuka itu juga dalam rangka mendorong negara dan pemerintah
untuk memberikan pengakuan terhadap Pramuka Indonesia. "Jadi pemerintah jangan
hanya sebagai regulator, RUU (Pramuka) antara lain mengamanatkan agar pemerintah
juga dalam posisi recognition. Artinya ada pengakuan nyata terhadap eksistensi
Pramuka dalam membangun generasi muda," tegas Hakam Naja.
Sementara Ketua Kwatir Nasional Gerakan Pramuka, Azrul Azwar, mengatakan bahwa
keberadaan Keppres nomor 238 tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka sudah tidak
memadai lagi. Karena itu Kwarnas Gerakan Pramuka memandang perlu adanya payung
hukum dalam bentuk undang-undang (UU) guna memayungi gerakan Pramuka.
"Gagasan agar gerakan Pramuka di Indonesia dipayungi oleh undang-undang muncul
dalam Musyawarah Nasional (Munas) Pramuka 2003 di Pontianak, karena forum
menilai Keppres nomor 238 tahun 1961 sudah tidak memadai lagi dalam mewadahi
aktifitas kepramukaan. Lalu pada tahun 2006 muncul legi revitalisasi Pramuka
yang bermuara pada lahirnya Rancangan Undang-Undang kepramukaan," kata Azrul
Azwar.
Dari 7 tahun proses yang sudah dilalui untuk penyempurnaan RUU tersebut, sebut
Azrul, ada 4 topik yang hingga kini masih menjadi perdebatan. Antara lain soal
urgensi Gerakan Pramuka dan UU gerakan Pramuka, tentang kelembagaan yang
mengelola pendidikan kepramukaan, serta tentang nama yang tepat untuk
undang-undang dimaksud.
"Secara spesifik DPR mengusulkan Undang-Undang Pramuka, sedangkan pemerintah
mengusulkan Undang-Undang Gerakan Kepramukaan. Soal nama, sepenuhnya diserahkan
kepada DPR dan pemerintah. Kwartir Nasional Pramuka lebih fokus pada substansi
undang-undang itu sendiri," kata Azrul Azwar. (fas/jpnn) selanjutnya ...
Selasa, 28 September 2010 , 19:19:00
oleh : Saiko Damai - dikutip dari milist Pramuka
JAKARTA - Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kepramukaan, Hakam Naja, menyatakan
bahwa Pramuka sudah perlu direvitalisasi. Pasalnya, di masa lalu keberadaan
Pramuka justru menjadi kepanjangan salah satu partai politik penguasa.
Dalam diskusi tentang RUU Pramuka di pressroom DPR, Selasa (28/9), Hakam Naja
menyatakan, UU Kepramukaan dirasa sudah sangat diperlukan untuk merevitalisasi
Pramuka. "Gerakan Pramuka itu diikuti oleh anak-anak usia 7 hingga 25 tahun di
bawah bimbingan orang dewasa. Kalau legalitasnya tidak didasari oleh
undang-undang, maka gerakan Pramuka dengan mudah bisa dikooptasi oleh aktifitas
politik praktis dan ini pernah terjadi pada masa Orde Baru," tegas Hakam Naja.
Hadir pula dalam diskusi itu Ketua Kwatir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka,
Azrul Azwar, Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi dan anggota Panja dari Fraksi
PKB, Hanif Dakhiri.
Hakam menyebutkan, saat ini nterdapat 46 daftar inventaris masalah (DIM) yang
terbagi dalam tiga tema yakni soal Prmauka sebagai organisasi tertinggi
kepanduan di Indonesia, anggaran, dan peran serta masyarakat dalam gerakan
Pramuka. "Terhadap oragnisasi tertinggi wadah Pramuka yang saat ini dipangku
oleh Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, DPR tengah berupaya untuk melakukan uji
publik terhadap berbagai gerakan aktif pramuka seperti Pramuka Sekolah Islam
Terpadu, Pramuka Sekolah Katholik, Pramuka Pondok Pesantren," ujarnya.
Soal anggaran, kata Hakam, sama halnya dengan gerakan Pramuka di banyak negara
maka APBN tidak harus menyediakan anggaran secara khusus untuk Pramuka. "APBN
hanya akan berperan sebagai pendorong kegiatan. Kebutuhan internal organisasi
terhadap biaya, sepenuhnya kita dorong untuk menjadi tanggung jawab kwartir
nasional," tandas politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Sementara soal basis Pramuka yang selama ini lebih mengandalkan sekolah, RUU
Gerakan Pramuka justru membuka koridor yang lebih luas, yakni Pramuka juga dapat
berbasiskan masyarakat. "Jadi Gugus Depan Pramuka yang selama ini berada di
sekolah-sekolah, harus dikembangkan secara lebih luas dan kreatif di
tengah-tengah kehidupan masyarakat," tegas Hakam.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi menambahkan, perspektif
perluasan basis Pramuka itu juga dalam rangka mendorong negara dan pemerintah
untuk memberikan pengakuan terhadap Pramuka Indonesia. "Jadi pemerintah jangan
hanya sebagai regulator, RUU (Pramuka) antara lain mengamanatkan agar pemerintah
juga dalam posisi recognition. Artinya ada pengakuan nyata terhadap eksistensi
Pramuka dalam membangun generasi muda," tegas Hakam Naja.
Sementara Ketua Kwatir Nasional Gerakan Pramuka, Azrul Azwar, mengatakan bahwa
keberadaan Keppres nomor 238 tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka sudah tidak
memadai lagi. Karena itu Kwarnas Gerakan Pramuka memandang perlu adanya payung
hukum dalam bentuk undang-undang (UU) guna memayungi gerakan Pramuka.
"Gagasan agar gerakan Pramuka di Indonesia dipayungi oleh undang-undang muncul
dalam Musyawarah Nasional (Munas) Pramuka 2003 di Pontianak, karena forum
menilai Keppres nomor 238 tahun 1961 sudah tidak memadai lagi dalam mewadahi
aktifitas kepramukaan. Lalu pada tahun 2006 muncul legi revitalisasi Pramuka
yang bermuara pada lahirnya Rancangan Undang-Undang kepramukaan," kata Azrul
Azwar.
Dari 7 tahun proses yang sudah dilalui untuk penyempurnaan RUU tersebut, sebut
Azrul, ada 4 topik yang hingga kini masih menjadi perdebatan. Antara lain soal
urgensi Gerakan Pramuka dan UU gerakan Pramuka, tentang kelembagaan yang
mengelola pendidikan kepramukaan, serta tentang nama yang tepat untuk
undang-undang dimaksud.
"Secara spesifik DPR mengusulkan Undang-Undang Pramuka, sedangkan pemerintah
mengusulkan Undang-Undang Gerakan Kepramukaan. Soal nama, sepenuhnya diserahkan
kepada DPR dan pemerintah. Kwartir Nasional Pramuka lebih fokus pada substansi
undang-undang itu sendiri," kata Azrul Azwar. (fas/jpnn) selanjutnya ...
Pramuka Bukan Organisasi Kepemudaan
NASIONAL - SOSIAL
Selasa, 28 September 2010 , 17:51:00
oleh : Saiko Damai - dikutip dari milist Pramuka
JAKARTA - Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka, Azrul Azwar, tidak
ingin Pramuka disebut sebagai organisasi kepemudaan. Menurutnya, Gerakan Pramuka
lebih bersifat pendidikan. Karenanya, ia meminta kepada DPR yang saat ini
membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pramuka, bisa memasukkan organisasi
kepanduan itu ke kementrian yang relevan.
"Tidak bisa disamakan dengan organisasi kepemudaan. Kita serahkan ke DPR, mau
dibawa ke mana, tapi kita ingin di bawah kementrian yang relevan," kata Azrul
kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (28/9), usai diskusi
tentang RUU Pramuka.
Azrul juga mendukung upaya DPR yang terus berupaya menyelesaikan RUU Pramuka.
Kata dia, Pramuka memang harus diatur dalam UU bukan dalam bentuk Keputusan
Presiden (Kepres) sehingga kedudukannya lebih kuat. "Kami mendorong
Undang-undang ini (RUU Pramuka) supaya eksistensi Pramuka diakui dan mendapat
perlindungan," ucapnya.
Dengan adanya UU Pramuka, kata Azrul, maka diharapkan tidak ada lagi organisasi
kepramukaan yang ingin berdiri sendiri. Menurutnya, bisa saja banyak organisasi
kepramukaan, tapi induknya tetap satu.
"Di seluruh negara, induk Pramuka itu hanya satu, tidak ada dua. Bila banyak
sepert itu, maka bangsa ini akan terkotak-kotak dan yang rugi bangsa Indonesia
sendiri," katanya. (awa/jpnn) selanjutnya ...
Selasa, 28 September 2010 , 17:51:00
oleh : Saiko Damai - dikutip dari milist Pramuka
JAKARTA - Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka, Azrul Azwar, tidak
ingin Pramuka disebut sebagai organisasi kepemudaan. Menurutnya, Gerakan Pramuka
lebih bersifat pendidikan. Karenanya, ia meminta kepada DPR yang saat ini
membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pramuka, bisa memasukkan organisasi
kepanduan itu ke kementrian yang relevan.
"Tidak bisa disamakan dengan organisasi kepemudaan. Kita serahkan ke DPR, mau
dibawa ke mana, tapi kita ingin di bawah kementrian yang relevan," kata Azrul
kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (28/9), usai diskusi
tentang RUU Pramuka.
Azrul juga mendukung upaya DPR yang terus berupaya menyelesaikan RUU Pramuka.
Kata dia, Pramuka memang harus diatur dalam UU bukan dalam bentuk Keputusan
Presiden (Kepres) sehingga kedudukannya lebih kuat. "Kami mendorong
Undang-undang ini (RUU Pramuka) supaya eksistensi Pramuka diakui dan mendapat
perlindungan," ucapnya.
Dengan adanya UU Pramuka, kata Azrul, maka diharapkan tidak ada lagi organisasi
kepramukaan yang ingin berdiri sendiri. Menurutnya, bisa saja banyak organisasi
kepramukaan, tapi induknya tetap satu.
"Di seluruh negara, induk Pramuka itu hanya satu, tidak ada dua. Bila banyak
sepert itu, maka bangsa ini akan terkotak-kotak dan yang rugi bangsa Indonesia
sendiri," katanya. (awa/jpnn) selanjutnya ...
Jumat, September 24, 2010
Sudah Kembali ke RI, Panja DPR Temukan 3 Penyebab Pramuka Gagal di Afsel
Jakarta - Rombongan Panja Pramuka dari Komisi X DPR yang berangkat studi banding di Afrika Selatan (Afsel) sejak 14 September, telah kembali ke Tanah Air. Sesuai misi semula, mereka banyak mendapat pelajaran mengapa Pramuka kurang berkembang di negeri itu.
Rully Chairul Azwar, ketua rombongan Panja ke Afsel, pihaknya menemukan alasan mengapa Pramuka di Afsel tidak berkembang. "Jadi ada tiga hal kenapa Pramuka di sana tidak besar," kata Rully kepada detikcom, Selasa (21/9/2010).
Hal pertama yang membuat Pramuka Afsel tidak berkembang adalah karena wadah tersebut tidak dikelola oleh negara. Pendanaan kegiatan itu hanya diperoleh dari bantuan orang-orang atau lembaga-lembaga tertentu.
"Jadi seperti NGO saja, seperti LSM. Dan mereka bukan semacam wadah untuk pembentukan karakter anak muda, kalau yang ingin ikut, ya masuk. Begitu saja. Alasannya karena mereka ingin mempertahankan independensi," cerita Rully.
Hal kedua, pada era tertentu, orang kulit hitam di Afsel tidak boleh bergabung dalam wadah tersebut. Hal ini membuat anggota Pramuka Afsel tidak bertambah dengan cepat. "Tapi sekarang sudah boleh ikut," kata politisi Partai Golkar ini.
Alasan ketiga yang ditemukan Panja Pramuka DPR, karena tidak dikelola oleh negara, kegiatan Pramuka di Afsel tidak masuk di sekolah-sekolah. "Jadi kegiatan Pramuka itu tidak ada di sekolah-sekolah di sana," kata Rully.
Rully mengatakan, Panja Pramuka belajar banyak hal dengan mengunjungi Afsel. Awalnya, semua bertanya-tanya mengapa Pramuka di Afsel tidak besar, padahal dari negara itulah justru inspirasi Pramuka berasal.
"Bapak Pramuka itu dapat insprirasi untuk membentuk Pramuka itu dari Afsel, harusnya kan sekarang Pramukanya berkembang, tapi ternyata tidak. Dan ternyata penyebabnya adalah tiga hal itu," kata Rully.
Rully menegaskan, kepergian Panja Pramuka ke Afrika Selatan sama sekali bukan jalan-jalan. Semua itu dilakukan dalam rangka uji sahih sebelum sebuah undang-undang diluncurkan.
Rully mengakui, studi banding dalam rangka uji sahih itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Namun hal itu penting dilakukan karena merupakan salah satu proses penting dalam suatu pembentukan undang-undang.
"Itu proses yang tidak bisa dihilangkan, kita tidak bisa menghilangkan satu mekanisme itu," kata Rully.
Menurut Rully, jika biaya untuk proses pembentukan undang-undang memang dirasa sangat berat, ada baiknya ada pembatasan undang-undang per tahunnya. "Kalau memang biayanya besar, ya dibatasi saja per tahun berapa UU, tapi jangan dikurangi mekanismenya," kata Rully.
Rully setuju jika ada kritikan kepada pemerintah maupun DPR yang pergi untuk jalan-jalan saja. Namun jika kepergian itu memang untuk kepentingan negara, Rully berharap masyarakat dapat membedakannya.
"Jadi jangan ada pembunuhan karakter," kata Rully. (ken/nrl)
Sumber : DetikNews.com selanjutnya ...
Rully Chairul Azwar, ketua rombongan Panja ke Afsel, pihaknya menemukan alasan mengapa Pramuka di Afsel tidak berkembang. "Jadi ada tiga hal kenapa Pramuka di sana tidak besar," kata Rully kepada detikcom, Selasa (21/9/2010).
Hal pertama yang membuat Pramuka Afsel tidak berkembang adalah karena wadah tersebut tidak dikelola oleh negara. Pendanaan kegiatan itu hanya diperoleh dari bantuan orang-orang atau lembaga-lembaga tertentu.
"Jadi seperti NGO saja, seperti LSM. Dan mereka bukan semacam wadah untuk pembentukan karakter anak muda, kalau yang ingin ikut, ya masuk. Begitu saja. Alasannya karena mereka ingin mempertahankan independensi," cerita Rully.
Hal kedua, pada era tertentu, orang kulit hitam di Afsel tidak boleh bergabung dalam wadah tersebut. Hal ini membuat anggota Pramuka Afsel tidak bertambah dengan cepat. "Tapi sekarang sudah boleh ikut," kata politisi Partai Golkar ini.
Alasan ketiga yang ditemukan Panja Pramuka DPR, karena tidak dikelola oleh negara, kegiatan Pramuka di Afsel tidak masuk di sekolah-sekolah. "Jadi kegiatan Pramuka itu tidak ada di sekolah-sekolah di sana," kata Rully.
Rully mengatakan, Panja Pramuka belajar banyak hal dengan mengunjungi Afsel. Awalnya, semua bertanya-tanya mengapa Pramuka di Afsel tidak besar, padahal dari negara itulah justru inspirasi Pramuka berasal.
"Bapak Pramuka itu dapat insprirasi untuk membentuk Pramuka itu dari Afsel, harusnya kan sekarang Pramukanya berkembang, tapi ternyata tidak. Dan ternyata penyebabnya adalah tiga hal itu," kata Rully.
Rully menegaskan, kepergian Panja Pramuka ke Afrika Selatan sama sekali bukan jalan-jalan. Semua itu dilakukan dalam rangka uji sahih sebelum sebuah undang-undang diluncurkan.
Rully mengakui, studi banding dalam rangka uji sahih itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Namun hal itu penting dilakukan karena merupakan salah satu proses penting dalam suatu pembentukan undang-undang.
"Itu proses yang tidak bisa dihilangkan, kita tidak bisa menghilangkan satu mekanisme itu," kata Rully.
Menurut Rully, jika biaya untuk proses pembentukan undang-undang memang dirasa sangat berat, ada baiknya ada pembatasan undang-undang per tahunnya. "Kalau memang biayanya besar, ya dibatasi saja per tahun berapa UU, tapi jangan dikurangi mekanismenya," kata Rully.
Rully setuju jika ada kritikan kepada pemerintah maupun DPR yang pergi untuk jalan-jalan saja. Namun jika kepergian itu memang untuk kepentingan negara, Rully berharap masyarakat dapat membedakannya.
"Jadi jangan ada pembunuhan karakter," kata Rully. (ken/nrl)
Sumber : DetikNews.com selanjutnya ...
Langganan:
Postingan (Atom)