Oleh : Haryono Suyono
Dalam rangkaian Hari Kemerdekaan RI, pada tanggal 14 Agustus 2008 Gerakan Pramuka Indonesia akan memperingati Hari Pramuka 2008. Seperti biasa Hari Pramuka itu diperingati di berbagai daerah, termasuk di Jakarta, dengan upacara bendera di lapangan yang luas dengan mengikut sertakan ribuan Pramuka dan para pejabat teras. Upacara bendera di Jakarta biasanya dilakukan dengan menghadirkan Presiden RI dengan pendampingan Menteri-menteri, Kepala Lembaga Tinggi Negara serta undangan yang jabatan atau fungsinya di tanah air tercinta ini luar biasa. Tetapi setelah upacara usai, biasanya semua kembali seperti sedia kala.
Di berbagai daerah, upacara tanggal 14 Agustus itu didahului berbagai acara yang menarik anak muda terjun langsung ke lapangan. Secara tradisional, mengacu pada pelajaran yang diberikan oleh Bapak Pandu se dunia Lord Baden Powell, kegiatan itu diarahkan pada kemah dengan segala acaranya di lapangan terbuka di pedesaan, atau tempat-tempat yang “anak kota” biasanya tidak lagi mengalaminya sehari-hari.
Bagi Lord Baden Powell, ajakan berkemah itu dilakukan karena pada jamannya terjadi revolusi industri maha dahsyat yang menarik anak muda untuk belajar giat sebagai bekal terjun dalam bidang industri dan manufacturing yang sangat marak. Anak muda lupa menguasai tehnik-tehnik “survival” di alam terbuka yang tidak jauh dari kampung atau desa sekitarnya. Negara Inggris yang baru bangkit belum seluruhnya berubah menjadi kota. Negara ini dengan banyak daerah jajahannya, belum seluruhnya, atau bahkan hampir belum ada, yang berubah maju seperti industrialisasi yang terjadi di Inggris. Masih diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang tehnik-tehnik survival yang mungkin saja diperlukan anak muda yang mulai menjamur mengelu-elukan pekerjaan sebagai tenaga kerja terampil di bidang industri dan perdagangan.
Keprihatinan Lord Baden Powell itu mempunyai alasan yang sangat kuat. Karena itu dengan tekad yang luar biasa diajaklah anak-anak muda Inggris, melalui sistem pendidikan kepanduan, dalam kelompok-kelompok kecil yang kompak, menjadi tenaga muda penuh percaya diri, solidaritas antar anggota yang kompak, agar sanggup menghadapi masa transisi sebagai tenaga muda yang berkepribadian tetapi juga lengkap dengan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan survival yang sangat tinggi. Dalam kelompok-kelompok kecil itu anak-anak muda dilatih dan diberi kesempatan mengembangkan kepemimpinan dengan memberi kesempatan setiap anggotanya menjadi pemimpin regu. Setiap anggota regu diberi kesempatan untuk belajar memimpin, mengembangkan prakarsa, dan gagasan-gagasan brilian serta mencobanya tanpa rasa malu atau kawatir dicemoohkan dalam regunya. Kalau upaya itu berhasil, seluruh regu akan membawa penemuan itu ke forum yang lebih tinggi dengan penuh kebanggaan. Kalau gagal, si pembawa gagasan dilindungi agar tidak dipermalukan di muka umum. Penjagaan kredibilitas antar anggota regu merupakan kode etik yang diajarkan Bapak Pandu se dunia itu dalam pemupukan “acquired credibility” yang tangguh dan penuh tanggung jawab.
Menjelang peringatan Hari Pramuka 2008 kita perlu merenung dan bertanya, apakah pendidikan kepanduan seperti ini masih tetap berlangsung. Dari berbagai survey BPS nampak sekali bahwa lebih separo pengangguran di Indonesia, yang jumlahnya lebih dari 9,4 juta orang, adalah remaja dibawah usia 30 tahun. Anak-anak muda di Indonesia yang menganggur ternyata tingkat pendidikannya tidak tamat SD, tidak tamat SMP, atau lebih mengerikan lagi, tidak sedikit yang tercatat mempunyai latar belakang pendidikan pada tingkat SMA. Bahkan lebih dari 1,2 juta orang mengaku mempunyai tingkat pendidikan pada sekolah kejuruan, baik SMEA, Sekolah Tehnik atau sekolah kejuruan lainnya.
Kalau kita tambahkan sebanyak 14,6 juta orang yang terpaksa menganggur, artinya mempunyai pekerjaan tetapi tidak penuh dan sedang mencari pekerjaan yang lebih baik, ternyata lebih separonya berusia dibawah 35 tahun. Tidak kurang dari 8 juta hanya berpendidikan tamat SD atau kurang. Hampir 3 juta tamatan SMP, dan hampir 2 juta tamatan SMA. Jumlah anak-anak muda itu sungguh luar biasa. Anak-anak putus sekolah, menganggur atau hanya bekerja separuh waktu itu, karena pendekatan Pramuka dipusatkan pada sekolah, anak-anak remaja itu tidak lagi memperoleh pembinaan melalui gerakan Pramuka. Kesempatan berlatih kepanduan seperti cita-cita Lord Baden Powell atau Bapak Pandu Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuono IX (alm) tidak bisa lagi mereka nikmati.
Latihan kepanduan melalui gugus-gugus depan di lingkungan sekolah, di banyak daerah, hanya diwujudkan melalui penggunaan baju seragam pada hari Sabtu, bukan pada pelatihan dalam kelompok kecil seperti layaknya pelatihan kepanduan di masa lalu. Di masa Orde Baru pernah dikembangkan upaya untuk menciptakan Pramuka Peduli yang kemudian diteruskan sampai sekarang. Pada masa itu, tidak kurang dari 17 Menteri menanda tangani kesepakatan untuk memberikan dukungan agar pengenalan soft skills atau ketrampilan anak muda tidak dibatasi pada pengembangan survival di hutan atau lahan terbuka, tetapi juga survival dalam persaingan memperebutkan kesempatan langka yang tersedia pada kantor-kantor pemerintah, perusahaan atau pelatihan untuk mengembangkan prakarsa untuk hidup mandiri.
Dalam menghadapi persaingan global yang mulai nampak dampaknya pada ketidak mampuan anak muda Indonesia menghadapinya, perhatian gerakan Pramuka, atau minimal perhatian kita terhadap masa depan anak muda, perlu diubah orientasinya. Anak remaja Indonesia perlu dipersiapkan kemampuan survivalnya menghadapi persaingan global dengan pelatihan dan pendampingan, layaknya pelatihan dalam kelompok kecil yang pernah disuguhkan oleh Lord Baden Powell dalam mempersiapkan anak muda Inggris pada jamannya. Dirgahayu Gerakan Pramuka Indonesia. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Umum Hipprada, www.haryono.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar