NASIONAL - SOSIAL
Selasa, 28 September 2010 , 19:19:00
oleh : Saiko Damai - dikutip dari milist Pramuka
JAKARTA - Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kepramukaan, Hakam Naja, menyatakan
bahwa Pramuka sudah perlu direvitalisasi. Pasalnya, di masa lalu keberadaan
Pramuka justru menjadi kepanjangan salah satu partai politik penguasa.
Dalam diskusi tentang RUU Pramuka di pressroom DPR, Selasa (28/9), Hakam Naja
menyatakan, UU Kepramukaan dirasa sudah sangat diperlukan untuk merevitalisasi
Pramuka. "Gerakan Pramuka itu diikuti oleh anak-anak usia 7 hingga 25 tahun di
bawah bimbingan orang dewasa. Kalau legalitasnya tidak didasari oleh
undang-undang, maka gerakan Pramuka dengan mudah bisa dikooptasi oleh aktifitas
politik praktis dan ini pernah terjadi pada masa Orde Baru," tegas Hakam Naja.
Hadir pula dalam diskusi itu Ketua Kwatir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka,
Azrul Azwar, Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi dan anggota Panja dari Fraksi
PKB, Hanif Dakhiri.
Hakam menyebutkan, saat ini nterdapat 46 daftar inventaris masalah (DIM) yang
terbagi dalam tiga tema yakni soal Prmauka sebagai organisasi tertinggi
kepanduan di Indonesia, anggaran, dan peran serta masyarakat dalam gerakan
Pramuka. "Terhadap oragnisasi tertinggi wadah Pramuka yang saat ini dipangku
oleh Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, DPR tengah berupaya untuk melakukan uji
publik terhadap berbagai gerakan aktif pramuka seperti Pramuka Sekolah Islam
Terpadu, Pramuka Sekolah Katholik, Pramuka Pondok Pesantren," ujarnya.
Soal anggaran, kata Hakam, sama halnya dengan gerakan Pramuka di banyak negara
maka APBN tidak harus menyediakan anggaran secara khusus untuk Pramuka. "APBN
hanya akan berperan sebagai pendorong kegiatan. Kebutuhan internal organisasi
terhadap biaya, sepenuhnya kita dorong untuk menjadi tanggung jawab kwartir
nasional," tandas politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Sementara soal basis Pramuka yang selama ini lebih mengandalkan sekolah, RUU
Gerakan Pramuka justru membuka koridor yang lebih luas, yakni Pramuka juga dapat
berbasiskan masyarakat. "Jadi Gugus Depan Pramuka yang selama ini berada di
sekolah-sekolah, harus dikembangkan secara lebih luas dan kreatif di
tengah-tengah kehidupan masyarakat," tegas Hakam.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi menambahkan, perspektif
perluasan basis Pramuka itu juga dalam rangka mendorong negara dan pemerintah
untuk memberikan pengakuan terhadap Pramuka Indonesia. "Jadi pemerintah jangan
hanya sebagai regulator, RUU (Pramuka) antara lain mengamanatkan agar pemerintah
juga dalam posisi recognition. Artinya ada pengakuan nyata terhadap eksistensi
Pramuka dalam membangun generasi muda," tegas Hakam Naja.
Sementara Ketua Kwatir Nasional Gerakan Pramuka, Azrul Azwar, mengatakan bahwa
keberadaan Keppres nomor 238 tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka sudah tidak
memadai lagi. Karena itu Kwarnas Gerakan Pramuka memandang perlu adanya payung
hukum dalam bentuk undang-undang (UU) guna memayungi gerakan Pramuka.
"Gagasan agar gerakan Pramuka di Indonesia dipayungi oleh undang-undang muncul
dalam Musyawarah Nasional (Munas) Pramuka 2003 di Pontianak, karena forum
menilai Keppres nomor 238 tahun 1961 sudah tidak memadai lagi dalam mewadahi
aktifitas kepramukaan. Lalu pada tahun 2006 muncul legi revitalisasi Pramuka
yang bermuara pada lahirnya Rancangan Undang-Undang kepramukaan," kata Azrul
Azwar.
Dari 7 tahun proses yang sudah dilalui untuk penyempurnaan RUU tersebut, sebut
Azrul, ada 4 topik yang hingga kini masih menjadi perdebatan. Antara lain soal
urgensi Gerakan Pramuka dan UU gerakan Pramuka, tentang kelembagaan yang
mengelola pendidikan kepramukaan, serta tentang nama yang tepat untuk
undang-undang dimaksud.
"Secara spesifik DPR mengusulkan Undang-Undang Pramuka, sedangkan pemerintah
mengusulkan Undang-Undang Gerakan Kepramukaan. Soal nama, sepenuhnya diserahkan
kepada DPR dan pemerintah. Kwartir Nasional Pramuka lebih fokus pada substansi
undang-undang itu sendiri," kata Azrul Azwar. (fas/jpnn)
Rabu, September 29, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar